Apa saja tuduhan tidak resmi terkait PPDS Undip?
Kasus dugaan perundungan atau penyerangan geng yang berujung pada meninggalnya Auliya Lisma Lestari, calon dokter anestesi di Undip, memasuki babak baru menyusul temuan baru Kementerian Kesehatan.
Kemenkes menyebut diduga meminta sumbangan tidak resmi kepada PPDS Andip Anestesi. RS Kariadi,Semarang.
“Kebutuhan moneternya antara Rp 20 juta hingga Rp 40 juta per bulan,” kata juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Shahrir dalam keterangannya, Minggu (09/01).
Pak Shahril kemudian menjelaskan, berdasarkan keterangan beberapa pihak, tuntutan uang tersebut dilakukan sekitar Juli hingga November 2022, saat mendiang Dr Auliya Risma masih duduk di bangku semester satu. Biaya tersebut menjadi beban dokter dan keluarga Auria, bantahnya.
Situasi ini, lanjutnya, mungkin menjadi penyebab almarhum yang tidak menyangka akan dikenakan retribusi setinggi itu, mendapat tekanan akademis.
Sharil mengatakan, penyelidikan Kementerian Kesehatan terhadap tuduhan Undip melakukan perundungan oleh polisi masih berlangsung.
Ia mengatakan: “Barang bukti dan keterangan saksi mengenai permintaan uang selain biaya pendidikan telah diserahkan ke polisi untuk diproses lebih lanjut.”
Dr PPDS Undip: “Tidak ada perundungan, yang ada hanyalah gotong royong”
Senior PPDS Anestesiologi, Angga Liang, mengakui adanya pungutan tidak resmi dan gratifikasi yang dikenakan kepada calon dokter anestesi Undip. Baginya, uang sumbangan tersebut bukan klik disini merupakan bentuk “amal”, melainkan gotong royong karena digunakan untuk sembako dan kebutuhan bersama.
Dia mengatakan mengatur tunjangan diet bagi ahli anestesi residen adalah hal yang penting, terutama pada shift malam. Penghuni bahkan mungkin tidak bisa meninggalkan ruang operasi untuk makan.
“Beli makanan itu sistem gotong royong, lalu kenapa?” Sebab program bedah RSUD Kariadi berlangsung 24 jam. ” Saat diwawancara wartawan FK Undip, beliau mengatakan, “Rumah sakit tidak menyediakan makan malam.”
“Sedangkan warga ini masih melakukan anestesi di ruang operasi. Salah satu sistem yang kami lakukan adalah dengan pembelian makanan…dan itu akan terus dilakukan hingga program operasional selesai,” lanjut Angga.
Dan dia mengklaim, “tradisi” pemungutan biaya di kalangan mahasiswa PPDS ini sudah berlangsung sejak lama. Ia menuturkan, ke depannya adik-adiknya juga akan melakukan hal yang sama karena cara ini dianggap sebagai solusi bersama untuk mengatasi kesulitan belajar di dalam negeri.
“Kalau yang tertua, makanannya disediakan oleh adik bungsu. Bahkan, adik bungsu membantu mendistribusikan makanan agar bisa diberikan anestesi di ruang operasi.”
Baca juga:
Pernyataan dari peserta pelatihan spesialis percobaan bunuh diri: “Penindasan dibenarkan atas nama pendidikan mental.”
Artikel PP Kesehatan “Pemberian Alat Kontrasepsi pada Anak Sekolah dan Remaja” memang kontroversial
Soal besaran retribusi, Angga mengatakan besaran nominal tiap angkatan berbeda-beda. Ia sendiri mengaku belum mengetahui secara pasti berapa biaya pengobatan mendiang dr Auliya Lisma Lestari.
Yang pasti, klaimnya, uang itu dikelola oleh bendahara tahun pertama.
“(Besaran SPP) tidak pasti. Ada mahasiswa yang tidak perlu membayar SPP pada semester tersebut. “Makanya donasi ini didasarkan pada kebutuhan uang tunai untuk makan.”
“Yang bisa saya terima maksimal Rp 10 juta, kalau ada kelebihan akan dikembalikan, tapi hanya untuk satu semester.”
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!