Rokok dan Identitas Sosial
Di Indonesia, rokok bukan cuma sekadar produk konsumsi. Banyak orang yang menganggap rokok sebagai bagian dari identitas sosial. Duduk di warung kopi sambil menyalakan sebatang rokok sering kali terasa jadi momen yang “kurang afdol” kalau tanpa asap rokok. Bahkan ada yang merasa kalau rokok bisa jadi jembatan untuk membuka percakapan. https://bokormas.com/
Ada semacam budaya di mana rokok dianggap sebagai tanda keakraban. Misalnya, ketika bertemu orang baru, menawarkan rokok adalah salah satu cara untuk mencairkan suasana. Hal kecil seperti ini yang bikin rokok masih kuat menempel di kehidupan sehari-hari.
Rokok dan Stigma Negatif yang Terus Menguat
Memang, kampanye anti rokok terus digalakkan. Mulai dari peringatan bergambar di bungkus rokok, iklan layanan masyarakat di TV, sampai aturan larangan merokok di tempat umum. Namun, kenyataannya rokok tetap bertahan dan bahkan tidak sedikit yang jumlah konsumennya bertambah.
Buat perokok, kampanye itu sering dianggap hanya sekadar “peringatan” tanpa benar-benar memengaruhi keputusan mereka. Malah, ada yang merasa semakin dilarang, semakin penasaran untuk terus merokok.
Rokok Sebagai Pelepas Stres
Salah satu alasan terbesar orang masih merokok adalah karena rokok dianggap bisa meredakan stres. Ketika beban kerja menumpuk, masalah pribadi datang bertubi-tubi, atau sekadar merasa penat, menyalakan sebatang rokok dipercaya bisa bikin pikiran lebih tenang.
Meskipun dari sisi medis belum ada bukti kuat bahwa nikotin benar-benar jadi obat stres, banyak perokok yang merasa lebih rileks setelah menghisap rokok. Sensasi “tarik dalam, hembuskan perlahan” sering kali dianggap sebagai ritual pelepas penat.
Harga Rokok yang Masih Terjangkau
Salah satu faktor kenapa rokok masih laku keras adalah harganya yang relatif terjangkau, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain. Di Indonesia, meskipun cukai rokok terus naik, tetap saja rokok bisa didapatkan dengan harga yang cukup murah.
Bagi sebagian orang, rokok bukan lagi sekadar pilihan gaya hidup, tapi sudah jadi kebutuhan harian. Tidak jarang ada yang bilang, “nggak makan nggak apa-apa, asal bisa ngerokok.”
Rokok dan Citra Maskulinitas
Di banyak iklan rokok yang dulu sempat bebas tayang, rokok digambarkan sebagai simbol maskulinitas: laki-laki kuat, berani, penuh petualangan. Meski sekarang iklan rokok sudah dibatasi, bayangan citra itu masih melekat.
Banyak pria yang merasa “kurang gagah” kalau nongkrong tanpa rokok. Sementara sebagian wanita juga menganggap merokok adalah bentuk kebebasan dan ekspresi diri. Jadi, rokok tidak lagi soal kebutuhan biologis, tapi juga soal citra dan perasaan ingin diterima.
Rokok dan Kebiasaan Nongkrong
Budaya nongkrong di Indonesia sangat lekat dengan rokok. Warung kopi, angkringan, kafe pinggir jalan, hampir semuanya menyediakan asbak di meja. Bahkan, nongkrong terasa kurang lengkap kalau tidak ditemani sebatang rokok.
Hal ini membuktikan kalau rokok bukan sekadar produk, melainkan bagian dari “ritual sosial”. Di titik ini, rokok sudah masuk ke dalam gaya hidup, bukan cuma sekadar konsumsi biasa.
Rokok Elektrik vs Rokok Konvensional
Beberapa tahun terakhir, rokok elektrik atau vape mulai ramai digunakan. Banyak yang menganggap vape lebih modern, lebih “bersih”, bahkan lebih sehat. Namun, tetap saja rokok konvensional masih jadi pilihan mayoritas perokok.
Bagi mereka, sensasi membakar tembakau dan aroma khas rokok kretek dianggap tidak bisa digantikan oleh vape. Ada romantisme tersendiri dari bunyi “kres” korek api, tarikan asap pertama, sampai wangi tembakau yang terbakar.
Rokok dan Kenangan Personal
Tidak bisa dipungkiri, bagi sebagian orang rokok juga punya nilai emosional. Ada yang mengenang almarhum ayahnya sebagai sosok yang selalu ditemani rokok kretek, atau ada yang mengingat masa muda penuh kebersamaan dengan teman nongkrong lewat rokok.
Kenangan-kenangan kecil ini menjadikan rokok punya makna lebih dalam ketimbang sekadar produk konsumsi.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!