Di zaman serba digital ini, kita hidup dengan ijobet slot waktu yang ditentukan jam pintar, notifikasi ponsel, dan kalender daring. Namun, jauh sebelum itu, leluhur kita telah lebih dahulu menyusun waktu, bukan dengan angka, melainkan lewat bebatuan. Di berbagai penjuru Nusantara, masih berdiri formasi batu yang bukan sekadar artefak tua—melainkan kalender hidup yang membaca alam.

Salah satu contoh menakjubkan adalah situs Watugunung di Jawa Tengah. Di sana, batu-batu besar disusun sedemikian rupa sehingga bayangan matahari pada waktu-waktu tertentu menunjukkan pergantian musim, awal panen, atau datangnya masa tanam. Ini bukan sihir, melainkan hasil pengamatan puluhan, bahkan ratusan tahun terhadap pergerakan langit.

Kalender batu adalah bukti bahwa nenek moyang kita sangat peka terhadap siklus alam. Mereka tahu kapan hujan pertama turun hanya dari arah angin, tahu waktu panen lewat posisi matahari. Tanpa satupun aplikasi cuaca atau jam digital, mereka hidup selaras dengan irama bumi. Sistem ini bukan hanya ilmiah, tapi juga spiritual. Setiap peristiwa astronomi dianggap membawa pesan dari alam—dan harus dihormati.

Sayangnya, banyak situs kalender batu kini tertutup semak, tergerus proyek pembangunan, atau terlupakan oleh generasi muda. Ironis, mengingat tempat-tempat seperti Stonehenge di Inggris begitu dijaga dan dipuja, sementara kita justru abai terhadap warisan yang jauh lebih dekat.

Kalender batu juga mencerminkan filosofi hidup yang mendalam. Waktu bukan sekadar deretan angka, melainkan bagian dari siklus kehidupan. Ada waktu menanam, waktu menunggu, waktu memanen, dan waktu bersyukur. Semua dijalani dengan sabar dan penuh kesadaran. Tidak tergesa, tidak terburu. Inilah pelajaran yang semakin langka di era yang ingin serba instan.

Kini, beberapa komunitas mulai sadar dan berusaha menghidupkan kembali pengetahuan ini. Mereka mengadakan festival matahari, mengajarkan cara membaca bayangan batu kepada anak-anak, dan mendokumentasikan kisah para tetua yang masih mengingat cara kerja sistem ini. Sebuah langkah kecil untuk menghubungkan kembali manusia modern dengan akar budayanya.

Mungkin kita tak akan mengganti kalender digital kita dengan bayangan batu. Tapi memahami cara leluhur menghitung waktu adalah bentuk penghormatan. Bahwa sebelum dunia sibuk berlari, ada masa ketika manusia memilih mendengar dulu suara alam—dan meresapi artinya sebelum melangkah.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *